Rumah adat Kudus merupakan warisan budaya tradisional yang pada saat sekarang jumlahnya di daerah aslinya Kudus sudah sangat berkurang dibandingkan dengan jaman masa kejayaannya dulu pada sekitar abad 18 M. Bangunan rumah adat Kudus beserta bagian-bagiannya yang sarat dengan ukiran tersebut, terus diincar oleh para kolektor dalam dan luar negeri sehingga satu demi satu bangunan yang bahannya 95 persen kayu jati (tektona grandis) berkualitas tinggi tersebut berpindah dari tempat asalnya di Kudus.
Dilihat dari kondisi fisiknya, sebenarnya terdapat tiga kategori rumah adat di daerah Kudus, yaitu rumah adat biasa, rumah adat berukir dan rumah adat berukir sempurna yang sampai sekarang disebut sebagai Rumah Adat Kudus. Kategori pertama muncul tanpa ukiran. Keberadaannya diperkirakan mulai pada sekitar tahun 1500-an dan jumlahnya mencapai ratusan. Kategori kedua munculnya hampir bersamaan, namun pemiliknya sudah sedikit memberikan sentuhan ukir pada beberapa sudut tertentu, misalkan pada tiang maupun pintu. Sedang untuk kategori ketiga, pemiliknya sengaja memberikan nuansa ukiran pada hampir seluruh bagiannya. Bahkan kualitas ukirannya beberapa tingkat lebih sempurna sampai tiga dimensi.
Sebagai catatan, Rumah Adat Kudus yang asli dahulunya hanya berlokasi atau berada di Kudus Kulon (barat) di sekeliling Masjid Menara Kudus, sebuah bangunan peninggalan Sunan Kudus penyebar agama Islam pada jaman Wali Sanga. Hal tersebut bisa dikaji dari sejarahnya. Sedangkan rumah adat biasa di Kudus bisa terletak pada radius sekitar 10 - 25 km dari Menara Kudus. Perbedaan berukir dan tidak berukirnya rumah adat tersebut serta banyak sedikitnya ukiran itu disebabkan oleh perbedaan kemampuan dalam hal finansial dan status sosial dari para pemilik rumah adat pada waktu itu.
Seiring dengan berjalannya waktu, rumah adat asli Kudus sedikit demi sedikit menghilang atau berpindah dari lokasinya semula karena banyak diminati keunikannya. Disamping itu, faktor-faktor seperti faktor usia rumah adat itu, kondisi ekonomi pemiliknya sekarang dan kondisi sosial budaya yang sudah tidak sama lagi dengan waktu dulu semakin mempercepat kemungkinan punahnya keberadaan rumah adat asli Kudus tersebut. Lebih lanjut lagi yang lebih mengkhawatirkan adalah kemungkinan punahnya seni pembuatan rumah adat asli Kudus tersebut dari Kudus sendiri sebagai tempat asalnya.
Timbulnya kekhawatiran atas punahnya rumah adat Kudus dengan seni pembuatannya yang adiluhung tersebut melahirkan sebuah perintisan usaha untuk melestarikan keberadaan dan seni pembuatan rumah adat daerah Kudus yang tidak ternilai harganya tersebut dalam suatu upaya untuk menjaga kelestarian seni dan budayanya.
Dimulailah usaha yang panjang selama lebih dari 30 tahun, berawal pada sekitar tahun 1972 oleh Bapak H. Mustofa untuk mengumpulkan, melatih dan membina pekerja, pengrajin dan pengukir-pengukir yang khusus mendalami perawatan, seni ukir dan penyusunan serta pemasangan Rumah Adat Kudus dan bagian-bagiannya karena rumah adat tersebut mempunyai keistimewaan untuk dapat dilepas dan dipasang (knock down), sehingga sudah pasti membutuhkan keahlian tersendiri.
Usahanya dimulai dari melayani para kolektor yang membutuhkan jasanya dalam membongkar dan memasang kembali rumah adat Kudus asli yang dibeli mereka dari pemiliknya yang sekarang. Hampir 60 % dari keseluruhan jumlah pembongkar pasangan rumah adat Kudus yang semula jumlahnya lebih dari 100 buah tersebut ditangani oleh beliau. Pada saat proses tersebut selalu diketemukan bahwa minimal 30 % dari keseluruhan pembongkaran bagian-bagian dari rumah adat Kudus tersebut mengalami kerusakan disebabkan oleh faktor usianya yang sudah ratusan tahun. Dari situlah timbul usaha dan ada keharusan untuk membuat kembali bagian-bagian yang sudah rusak tersebut agar dapat kembali utuh ketika dipasang kembali.
Dengan menggunakan kayu-kayu jati yang juga sudah tua yang berasal dari bekas pembongkaran rumah-rumah kayu dari rumah adat biasa yang berada di daerah-daerah sekitar Kudus termasuk juga dari kabupaten-kabupaten sekitarnya seperti Pati, Jepara, Demak, dll, terutama karena para pemiliknya kebanyakan menginginkan rumah lebih modern yang menyesuaikan dengan zamannya, dibuatlah bagian-bagian yang sudah rusak dari rumah adat Kudus tadi sekaligus dengan proses ukir mengukirnya untuk mengembalikan kebentuknya semula. Proses inilah yang melahirkan keahlian perawatan, pembuatan, pengukiran kembali, pengenalan bentuk-bentuk seni ukirnya, serta seni memasang dan membongkarnya (knock down) sehingga pada akhirnya timbul kemampuan untuk membentuk kembali baik berupa bagian-bagian maupun keseluruhan rumah adat Kudus sama persis dengan seni pembuatannya yang asli pada waktu itu.
Tercatat sudah sekitar 18 buah rumah adat Kudus hasil merepro kembali seni pembuatan, pengukiran dan penyusunannya dihasilkan dalam usaha panjang tersebut. 11 buah berbentuk sesuai dengan standard rumah adat Kudus yang asli, sedangkan sisanya dengan variasi sesuai dengan permintaan pembelinya. Lokasinya juga tersebar di daerah-daerah seperti Jakarta, Bogor, Semarang dan Surabaya.
Disamping itu, sudah tidak terhitung banyaknya bagian-bagian dari rumah adat Kudus seperti gedongan, gebyok dan, gapura dibuat untuk memenuhi minat dari para kolektor barang antik dengan berbagai ukuran dan variasi sesuai permintaan dari pemesannya. Juga tidak terhitung proses pembongkaran dan pemasangan joglo yang merupakan salah satu bagian dari rumah adat yang bisa dan banyak dipakai untuk fungsi yang lain seperti sebagai penghias halaman rumah, untuk pembuatan pendopo, dipakai untuk garasi, tempat berteduh di dekat kolam renang dan sebagainya. Sudah tercatat pula sekitar 5 buah pendopo khas Kudus dibuat dalam proses usaha tersebut.
PutraGebyokCenter merupakan sebuah nama yang dipilih belakangan oleh putra bapak H. Mustofa yaitu bapak HM. Syaroni SH, yang melanjutkan usaha tersebut pada saat ini. Nama tersebut diambil dari bagian rumah adat Kudus yakni gebyok yang juga banyak diminati oleh para kolektor karena bentuknya yang simple dan fleksibel serta bisa berfungsi sebagai pembatas ruang (partisi) sekaligus sebagai penghias ruangan ditempat pemasangannya. Tujuan pengambilan nama tersebut adalah untuk memudahkan penyebutan dan pengingatan namanya, sekaligus merupakan wujud pada saat ini dari usaha panjang di atas dengan komitmen untuk mempersembahkan hasil yang terbaik dalam penyajian, perawatan dan seni Rumah Adat Kudus kepada para peminatnya.
Disamping usaha pelestarian seni dan budayanya, PutraGebyokCenter yang berpusat di Kudus juga peduli dengan usaha pelestarian lingkungan karena seperti telah dijelaskan di atas bahwa produk yang dihasilkan adalah bukan dari kayu-kayu jati baru yang didapat dari penebangan hutan pada saat ini melainkan diutamakan dari kayu-kayu jati tua yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun dipakai untuk rumah-rumah pada zaman dulu. Hal ini merupakan nilai tambah dari Rumah Adat Kudus dan produk-produk lain yang dihasilkan oleh PutraGebyokCenter, karena produknya terbuat dari kayu-kayu jati tua yang sudah matang dan tahan uji.